Renungan Bulan Ramadhan
“Hey kamu.... mari sini!” Saa Luqman halus kepada seorang bocah yang dengan sengaja menggangggu anak kecil lain yang sedang berpuasa.
“Siapa nama kamu...? Dari mana asalmu....?” tanya Luqman sambil memegang lengan bocah itu. Sebetulnya Luqman gemas, tapi ia tahan kegemansannya itu.
Meski ditanya dengan sopan, bocah itu malah balik mendelik ke arah Luqman dan tertawa menyeringai, tawa bocah itu membuat Luqman melepaskan pegangannya seketika. Luqman merasa bocah ini bukanlah anak sembarangan. Sungguhpun penampilannya seperti bocah biasa. Kaos plus celana pendek. Agak lusuh, tapi Luqman melihat mata bocah itu, mata itu bukanlah mata anak manusia pada umumnya. Ditambah lagi, sebelumnya Luqman tidak pernah melihat bocah itu dikampungnya, Kampung Ketapang, Tangerang. Luqman sudah bertanya ke sana kemari, adakah tetanga kampungnya atau orang di kampungnya yang mengenali siapa bocah itu dan siapa keluarganya. Semua orang yang ditanya Luqman menggelengkan kepala.
Bocah itu menjadi pembicaraan di Kampung Ketapang. Sudah tiga hari mondar- mandir keliling kampung. Ia menggoda anak-anak sebayanya, menggoda anak-anak remaja diatasnya, dan bahkan orang-orang tua. Bagaimana tidak menyebalkan, anak itu menggoda dengan berjalan kesana kemari sambil tangan kanannya memegang roti isi daging yang tampak coklat mneyala. Sementara atangan kirinya memegang es kelapa, lengkap dengen tetesan air dan utiran-butiran es yang melekat di plastik es tersebut.
Pemandangan tersebut menjadi pemandangan biasa bila orang-orang kampung melihatnya bukan pada bulan puasa. Pemandangan tak mengenakkan ini justru terjadi di tengah hari pada bulan puasa! Bulan ketika banyak orang sedang menahan lapar dan haus. Es kelapa dan roti isi daging tentu saja menggoda orang yang melihatnya. Pemandangan itu semakiin bertambah tidak biasa karena kebetulan selama tiga hari semenjak bocah itu ada, matahari di kampung itu lebih terik dari biasanya.
Luqman mendapat laporan dari orang-orang di kampungnya mengenai bocah itu. Mereka tidak berani melarang bocah kecil itu menyodor-nyodorkan dan meragakan bagaimana dengan nikmatnya ia mencicipi es kelapa dan roti isi daging tersebut. Pernah ada yang melarangnya, tapi kemudian orang tersebut dibuat mundur ketakutan sekaligus keheranan. Setiap dilarang, bocah itu akan mendengus dan matanya akan memberikan kilatan yang meyeramkan. Membuat mundur semua orang yang akan melarangnya.
Luqman memutuskan menunggu kehadiran bocah itu. Kata orang kampung, belakangan ini, setiap ba'da zuhur, anak itu muncul secara misterius. Bocah itu muncul dengan pakaian lusuh yang sama dengan hari-hari kemarin dan akan muncul dengan es kelapa dan roti isi daging yang sama juga!
Tidak lama Luqman menunggu, bocah itu hadir. Benar, ia menari-nari sambil menyeruput es kelapa itu. Tingkah bocah itu jelas mengundang orang lain untuk menelan ludah tanda ingin meminum es itu juga. Luqman menegurnya. Cuma ya itu tadi, bukannya takut, bocah itu malahan mendelik hebat dan melotot, matanya seakan keluar menelan Luqman. Kejadiannya seperti diuraikan dimukadmah tulisan ini.
“Bismillah....” Luqman kembali mencengkram tangan bocah itu. Ia kuatkan mentalnya. Ia brpikir kalau memang bocah itu adalah bocah jadi-jadian, ia akan korek keterangan, apa maksud semua ini. Kalau itu “bocah beneran”pun, ia akan mencari keterangan, siapa dan dari mana sesungguhnya bocah itu.
Mendengar ucapan bismillah itu, bocah tadi mendadak menuruti tarikan Luqman, Luqman menyentakkan tangannya, meyeret halus bocah itu dan membawanya ke rumah. Gerakan Luqman diikuti dengan tatapan mata penuh tanya orang-orang yang melihatnya.
“ Ada apa abang melarang saya meminum es kelapa dan menyantap roti isi daging ini? Bukanya ini adalah kepunyaan saya?” tanya bocah itu sesampainya di rumah Luqman seakan tahu bahwa Luqman akan bertanya tentang kelakuannya. Matanya masih lekat menatap tajam ke arah Luqman.
“ Maaf ya... itu karena kamu melakukannya di bulan puasa...” jawab Luqman dengan halus,” apalagi kamu tahu, bukankah seharusnya kamu juga berpuasa..., Lalu bukannya ikut menahan lapar dan haus, kamu malah menggoda orang dengan tingkahmu itu...”
Sebenarnya Luqman masih mau mengeluarkan unek-uneknya, megomeli anak itu. Tapi mendadak bocah itu berdiri sebelum Luqman selesai. Ia menatap mata Luqman lebih tajam lagi....
“Itu kan kalian lakukan juga kepada kami semua! Bukankah kalian lebih sering melakukan hal itu ketimbang saya...? Kalian selalu mempertontonkan kemewahan ketika kami hidup dibawah garis kemiskinan pada sebelas bulan di luar bulan puasa?
Bukankah kalian yang lebih sering melupakan kami yang kelaparan, dengan menimbun harta sebanyak-banyaknya dan melupakan kami?
Bukankah kalian juga yang selalu tertawa dan melupakan kami yang sedang menangis?
Bukankah kalian selalu berobat mahal bila sedikit saja sakit menyerang, sementara kalian mendiamkan kami yang mengeluh kesakitan hingga kematian menjemput ajal?
Bukankah juga di bulan puasa ini hanya pergeseran waktu saja kalian menahan rasa lapar dan haus? Ketika beduk magrib bertalu, ketika azan magrib terdengar, kalian kembali pada kerakusan kalian...?”
Bocah itu terus saja berbicara tanpa memberi Luqman kesempatan menyela. Tiba-tiba suara bocah itu berubah. Kalau tadinya ia berkata demikian tegas dan terdengar sangat “menusuk”, kini ia bersuara lirih, mengiba. “ Ketahuilah bang.... Kami berpuasa tanpa ujung... Kami senantiasa berpuasa meski bukan waktunya bulan puasa lantaran memang tidak ada makanan yang bisa kami makan. Sementara abang berpuasa sepanjang siang saja.
Dan ketahuilah bang, justru abang dan orang-orang di sekeliling abanglah yang menyakiti perasaan kami dengan berpakaian yang luar biasa mewahnya, lalu kalian sebut itu menyambut Ramadhan dan Iedul Fitri? Bukankah kalian juga selalu berlebihan dalam mempersiapkan makanan yang luar biasa bervariasi banyaknya, segala rupa ada, lantas kalian juga menyebutnya dengan istilah menyambut Ramadhan dan Iedul Fitri? Bang... sebelas bulan kalian semua tertawa di saat kami menangis, bahkan pada bulan Ramadhan pun hanya ada kepedulian yang seadanya.
Bang... ketahuilah kalianlah yang melupakan kami, kalianlah yang menggoda kami, dua belas bulan tanpa terkecuali termasuk di bulan ramadhan ini. Apa yang saya lakukan adalah yang kalian lakukan juga terhadap orang-orang kecil seperti kami....
Bang, abang sadar enggak dengan ketidak abadian harta? Lalu mengapakah masih saja mendekap harta secara berlebih? Bang... sadarkah apa yang terjadi bila abang dan orang-orang sekeliling abang tertawa sepanjang masa dan melupakan kami yang semestinya diingat?
Bahkan, berlebihannya abang dan orang-orang di sekeliling abang bukan hanya pada penggunaan harta, tapi juga pada dosa dan maksiat. Tahukan abang, akan adanya azab Tuhan yang menimpa...?
Abang... jangan merasa aman lantaran kaki masih menginjak bumi. Bang.... jangan merasa perut 'kan kenyang esok lantaran tersimpan pangan 'tuk setahun. Bang... jangan pernah merasa bahwa matahari tidak akan pernah menyatu dengan bumi, kelak...?
Wuah.... entahlah apa yang ada di kepala dan hati Luqman. Perkataan demi perkataan meluncur deras dari mulut bocah kecil itu tanpa bisa dihentikan. Dan hebatnya, semua yang disampaikan bocah tersebut adalah benar adanya!
Hal ini menambah keyakinan Luqman bahwa bocah ini bukan bocah sembarangan. Habis berkata pedas dan tajam seperti itu, bocah itu pergi begitu saja meninggalkan Luqman yang dibuatnya terbengong-bengong.
Di kejauhan, Luqman melihatbocah itu menghilang bak ditelan bumi. Begitu sadar, Luqman berlari mengejar ke luar rumah hingga ke tepian jalan raya Kampung Ketapang. Ia edarkan pandangan ke seluruh sudut yang bisa dilihatnya, tapi ia tidak menemukan bocah itu. Di tengah deru nafasnya yang memburu, ia tanya semua orang di ujung jalan, tapi semuanya menggeleng bingung. Bahkan, orang-orang yang menunggu penasaran di depan rumahnya pun mengfaku tidak melihat bocah itu keluar dari rumah Luqman! Bocah itu benar-benar misterius! Dan sekarang ia malah menghilang!
Luqman tidak mau main-main. Segera ia putar langkah, kembali ke rumah. Ia ambil sajadah, sujud dan bersyukur. Meski peristiwa tadi irasional, tiak masuk akal, tapi ia mau meyakini bagian yang masuk akal saja. Bahwa betullah adanya apa yang dikatakan bocah tersebut. Bocah tadi memeberikan pelajaran berharga, betapa kita sering melupakan orang-orang yang seharusnya kita ingat. Yaitu mereka yang tidak berpakaian, mereka yang kelaparan, dan mereka yang tidak memiliki penghidupan yang layak. Ia juga memberikan pelajaran bahwa seharusnya mereka yang sednag berada di atas, yang sedang mendapatkan karunia Allah, jangan sekali-kali menggoda orang-orang kecil, orang bawah, dengan berjalan membusungkan dada dan mempertontonkan kemewahan yang berlebihan.
Marilah berpikir tentang dampak sosial yang akan terjadi bila kita menjejali tontonan kemewahan, sementara yang melihatnya sedang membungkuk menahan lapar. Luqman berteima kasih kepada Allah yang telah memeberikannya hikmah yang luar biasa. Luqman tidak mau menjadi bagian dari orang yang di sebut Allah sebagai orang yang mati mata hatinya.
Sekarang yang ada dipikirannya, mau dipercaya atau tidak, ia akan mengabarkan kejadian yang dialamianya bersama bocah itu sekaligus menjelaskan hikmah kehadiran bocah tadi kepada semua orang yang dikenalnya, kepada sebanyak-nbanyaknya orang. Kejadian bersama bocah tadi begitu berharga bagi siapa saja yang menghendaki kebercahaan hati.
Pertemuan itu menjadi pertemuan terakhir. Sejak itu Luqman tidak pernah lagi melihatnya, selam-lamanya. Luqman rindu kaliamt-kaliamt pedas dan tudingan-tudingan yang memeng betul adanya. Luqman rindu kehadiran anak itu agar ada seseorang yang berani menunjujk hidungnya ketika ia salah.
* Seperti yang di tulis devRx from myquran.org