FIQIH SHAUM RAMADLAN (III)KEGIATAN PADA LAYLATASSHIYAAM
LAYLATAS SHIYAAM artinya malam hari yang esok siangnya melaksanakan shaum. Dalam ketentuan Islam yang dimaksud hari itu adalah dari maghrib ke maghrib. Berbeda dengan pengertian hari secara umum yang diawali dari tengah malam pukul 00.00. pengertian secara Islami ini lebih difahami dan jelas batasnya, malam dan siang, sebab ditandai dengan terbenamnya matahari. Sehingga malam Senin dalam Islam itu sudah termasuk hari Senin. Sebab itu Qiyamu Ramadlan dilakukan pada malam hari yang esoknya shaum.
1. Kegiatan Suami Istri
Ketika shaum Ramadlan diwajibkan, para sahabat Rasulullah saw menganggap bahwa pada malam harinya tidak diperbolehkan untuk mendatangi istri-istri mereka. Sebagian mereka berpendapat, boleh saja asal tidak terselang tidak setelah mereka ifthar (makan dan minum pada waktu maghrib). Malahan jika waktu maghrib tidak sempat makan dan minum sehingga terselang tidur, mereka tidak berani makan.
Adalah sahabat Umar bin Khatab r.a, ia pulang dari rumah Nabi Saw sudah larut malam, ia hendak mendatangi istrinya, kata istrinya, “aku sudah tidur”. Kata Umar, engkau belum tidur, dan ia tetap menggauli istrinya. Keesokan harinya ia mengatangi Rasulullah Saw, katanya. “Aku mohon izin kepada Allah dan kepadamu, karena nafsuku sudah membujukku, sehingga aku menggauli istriku. Apakah ada rukhsokh (keringanan) bagiku?” jawab Rasulullah Saw, “tidak begitu wahai Umar”. Kemudian turunlah ayat ini. Sahabat lain pun berbuat serupa, diantaranya Ka’ban bin Malik (Tafsir at-Thobariy).
Namun sekalipun dihalalkan ternyata masih ada sahabat yang berusaha menahan keinginannya untuk bergaul dengan istrinya sampai sebulan penuh. Sehingga turunlah ayat ini. (HR. al-Bukhariy).
احل لكم ليلة الصيام الرفث الى نسائكم هن لباس لكم وانتم لباس لهن علم الله انكم كنتم تختانون انفسكم فتاب عليكم وعفا عنكم فالئن بشروهن وابتغوا ما كتب الله لكم
"Dihalalkan bagi kamu pada malam shiyam berhubungan dengan istri-istrimu; mereka adalah pakaian bagimu dan kamu pakaian untuk mereka. Allah mengetahui bahwa kamu berkhianat kepada dirimu (menyiksa diri dengan menahan keinginan), karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan harapkanlah apa yang ditetapkan Allah untukmu”.
Halal bagi kamu berhubungan suami istri pada malam yang esok siangnya kamu akan melaksanakan shaum. Shaum itu menahan makan, minum, dan berhubungan suami istri sejak fajar sampai maghrib. Setelah datang maghrib diharuskan ifhtar atau berbuka dengan makan dan minum. Mendatangi istri yang asalnya dilarang dilakukan pada siang hari, menjadi halal dilakukan pada malam harinya dan tidak akan mengurangi pahala serta kekhusyuan ibadah shaum. Ayat ini menunjukkan, bahwa kewajiban shaum dalam Islam itu bukan merupakan siksaan, berbeda dengan agama selain Islam. Shaum dalam Islam tidak mengganggu kebutuhan biologis kaum mu’minin. Yang biasa melakukan makan, minum dan hubungan di siang hari hanya mengalihkan waktunya ke malam hari.
Allah mengibaratkan suami dan istri bagaikan pakaian yang melekat di badan. Seorang laki-laki beristri dinyatakan tidak pantas bila ia hidup sendiri tanpa menyentuh istrinya, seolah ia punya pakaian tetapi tidak memakainya. Demikian juga perempuan yang bersuami, bila ia dibiarkan tanpa sentuhan suaminya, tidak pernah terlihat bersama. Tidak pantas seorang perempuan yang bersuami terlihat seolah-olah tidak bersuami. Pakaian bagi manusia akan menggambarkan kehidupannya. Apa penafsiran kita jika melihat orang yang berpakaian compang camping? Ayat ini pun menegaskan halalnya berhubungan suami istri pada malam shiyam.
Allah maha mengetahui apa yang tersirat dalam hati manusia berupa niat, keyakinan dan keinginannya sekalipun hal itu tidak pernah diutarakan. Allah memahami keinginan kaum mu’minin untuk mubasyarah pada malam shiyam. Keinginan itu ditahan oleh mereka, karena takut membatalkan shaum pada esok harinya, takut merusak ibadahnya, atau berkeyakinan akan mengurangi pahala karena keadaan dirinya tidak suci lagi, sehingga menahan keinginan itu dapat menyiksa diri. Memang sangat tersiksa menahan seperti itu manakala suami dan istri hidup berdampingan dan tidak mempunyai kegiatan lain.
Allah yang maha mengetahui apa yang nampak dan yang tersembunyi, mengampuni keyakinan kaum mu’minin yang keliru, dan menghargai kehati-hatian mereka karena takut dosa. Mungkin juga dosa yang diampuni Allah itu karena kaum mu’minin beranggapan bahwa shaum dalam Islam itu sama dengan puasanya orang kafir. Dalam puasa orang kafir yang tujuannya ingin mendapat kekuatan misalnya, haram bagi mereka melakukan hubungan suami istri pada waktu puasa.
Kita sering dihadapkan pada masalah-masalah yang dilematis, sementara kita tidak mengetahui hukumnya secara jelas. Bila tujuannya baik, karena takut kepada Allah sekalipun tindakan kita salah, maka Allah akan memaafkan kita.
Bukan hanya mengampuni keyakinan yang keliru, Allah menyuruh kaum muslimin untuk melakukan mubasyarah. Suruhan ini tidak menunjukkan wajib, perintah ini menujukkan mubah dan menyatakan sama sekali tidak berdosa dan tidak ada pengaruhnya terhadap pahala shaum. Malahan melakukan hubungan suami istri dalam Islam itu berpahala. Sabda Rasulullah Saw pada orang-orang faqir yang tidak punya harta untuk dishodaqahkan, “mendatangi istri kamu itu adalah shodaqah” para sahabat bertanya, “ya Rasulullah, benarkah jika diantara kami melepas syahwatnya akan mendapat pahala?” jawab beliau, “bagaimana pendapatmu jika engkau melepaskannya pada yang haram apakah akan mendapat dosa?” mereka menjawab, “benar” kata Rasulullah Saw, “maka demikian juga jika kamu menyimpannya pada tempat yang halal, maka akan mendapat pahala”. (HR. Muslim dan Abu Dawud).
Dan harapkanlah apa yang ditetapkan Allah berupa keturunan yang shalih dan baik dengan berdo’a sebelum melakukan senggama.
1. Kegiatan Makan dan Minum
Masih dalam riwayat imam al-Bukhariy dari sahabat al-Barraabin ‘Azib, “apabila seseorang shaum kemudian ia tidak sebelum ifthar, sehingga saat-saat ifthar terlewatkan, ia tidak berani makan malam harinya bahkan sampai siangnya lagi. Adalah sahabat Qais bin Shirmah al-Anshariy, ia bekerja di kebun kurma pada siang hari dalam keadaan shaum. Menjelang maghrib, ia pulang menemui istrinya, “apakau kau punya makan untuk ifthar?” katanya. Jawab istrinya, “tidak”. Kata Qais, “pergilah, dan cari makanan”. Saat istrinya datang, Qais sudah tidur, lalu bangun ia tidak berani makan sampai datang waktu siang. Siang harinya ia bekerja lagi, karena menahan lapar ia pingsan. Kemudian dilaporkan hal itu kepada Rasulullah Saw, lalu turunlah potongan ayat dibawah ini.
Pada riwayat lain diterangkan, bahwa ada sahabat yang mengikat kaki kanannya dengan benang putih dan kaki kirinya dengan benang hitam atau sebaliknya. Mereka terus makan sahur sehingga jelas terlihat perbedaan warna benang itu karena datang waktu subuh. Kemudian turunlah ayat ini yang menjelaskan bahwa kalimat itu bukan arti sebenarnya, namun merupakan ungkapan dari siang dan malam. (HR. al-Bukhariy).
وكلوا واشربوا حتى يتبين لكم الخيط الابيض من الخيط الاسود من الفجر ثم اتموا الصيام الى اليل
“Dan makan minumlah sehingga terang bagimu benang putih dari benang hitam yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah shaum itu sampai datang malam”.
Perintah makan dan minum pada malam shiyam disini tidak diartikan sepanjang malam itu harus makan dan minum. Perintah disini menunjukkan malam shiyam sama seperti malam-malam lainnya, tidak sesuatu yang halal menjadi haram. Malahan jika kita menetapkan haram makan atau minum walaupun sesaat dari malam shiyam, maka ketetapan itu menjadi dosa.
Waktu ibadah dalam Islam ditentukan dengan perputaran bumi dan peredaran bulan. Seperti waktu shalat, saat zakat, gerhana awal Ramadlan dan Idul Fitri. Demikian juga waktu shaum ditandai dengan terbitnya fajar dan terbenamnya matahari. Bagi kita sekarang tidak perlu lagi melihat bentangan cahaya putih bergandengan dengan gelapnya malam sebagai tanda fajar telah tiba, kita tinggal melihat jadwal dan jam. Para ahli ilmu falak telah menghitung dan mencocokkannya dengan waktu jam, namun pada saat-saat tertentu; ketika kita berada di tempat yang asing, sedang jam kita tidak menunjukkan waktu setempat dan disana tidak ada orang Islam, maka melihat alam adalah waktu yang tepat untuk menentukan waktu ibadah.
Sejak datang fajar sebagai tanda waktu shalat subuh, hendaklah kita mulai melaksanakan shaum sampai tiba waktu maghrib. Itulah shaum yang sempurna. Kalimat ini pun menjelaskan bahwa haram hukumnya melewatkan waktu maghrib dengan sengaja padahal ia mempunyai kesempatan untuk berbuka.
2. Kegiatan di Akhir Ramadlan
Yang dimaksud akhir Ramadlan adalah 10 malam terakhir. Rasulullah Saw dan para sahabatnya selalu melakukan I’tikaf di masjid. “Ádalah Rasulullah Saw beri’tikaf pada 10 malam terakhir di bulan Ramadlan”. (HR. al-Bukhariy) sabda Rasulullah Saw, “siapa yang telah beri’tikaf bersamaku, maka hendaklah I’tikaf pada sepuluh malam terakhir”. (HR. al-Bukhariy).
Mu’takif atau orang yang I’tikaf, masih dibolehkan makan dan minum di masjid, tetapi jima dilarang. Perbuatan yang asalnya halal itu dapat membatalkan I’tikaf. Firman Allah:
ولا يبشروهن وانتم عكفون فى المسجد
“Tetapi janganlah kamu campuri mereka sedang kamu dalam keadaan I’tikaf di masjid-masjid”.
Tidak ada keterangan I’tikaf bagi perempuan kecuali istri-istri Rasulullah Saw, hal itu pun setelah ada izin dari beliau. Dalam pelaksanaannya pun harus lebih tertib menggunakan ruangan khusus seperti tenda, jangan sampai mengganggu orang-orang yang akan shalat berjamaah. Bila hal itu tidak bisa dilakukan, maka I’tikaf bagi perempuan hukumnya terlarang.
Ayat ini mengisyaratkan bahwa I’tikaf itu dilakukan di dalam masjid. Ada pendapat yang membolehkan beri’tikaf di mushalla bahkan didalam mushalla rumahnya. Namun tidak ada hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah Saw beri’tikaf selain di masjid.
Ada pula yang berpendapat bahwa masjid-masjid yang dimaksud adalah tiga masjid yang terkenal; masjid al-Haram di Makkah, masjid Nabawi di Madinah, dan masjid al-Aqsha di Palestina. Tetapi keterangan itu bertentangan dengan yang diriwayatkan imam Abu Dawud dari Aisyah, “tidak boleh I’tikaf kecuali dimasjid jami”. Masjid jami adalah yang biasa digunakan untuk ibadah jum’ah.
Sedangkan yang membatalkan I’tikaf adalah keluar dari tempatnya kecuali untuk memenuhi kebutuhan buang air, berwudlu, makan dan minum itu pun bila tidak ada yang mengantarkannya. Dalam riwayat Abu dawud, Aisyah, Ummul Mu’minin menerangkan, “sunnah atas orang yang beri’tikaf adalah: tidak menengok orang yang sakit menghadiri jenazah, menyentuh dan mencumbu istri dan tidak boleh keluar (dari masjid) kecuali untuk keperluan yang sangat, dan tidak (ada) I’tikaf kecuali dengan shaum dan tidak ada I’tikaf kecuali di masjid jami”. (HR. Abi Dawud).
Tentang menyentuh istri tanpa taladzudz tidak membatalkan I’tikaf, sebab Rasulullah Saw pernah disisiri oleh Aisyah waktu beliau I’tikaf, tetapi bila membangkitkan syahwat seperti berciuman, hukumnya makruh, namun sebagian ulama menyatakan membatalkan I’tikaf.
“Itulah larangan-larangan Allah, maka dari itu janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka bertaqwa”. (QS. Al-Baqarah:187).
“Itulah aturan-aturan Allah berupa larangan dan batas-batasnya yang ditetapkan bagi orang-orang yang beriman, maka dari itu janganlah kita coba-coba untuk mendekatinya apalagi melanggarnya. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya yang bijaksana dan tidak memberatkan manusia bahkan mereka merasakan kenikmatan hidup dengan peraturan tersebut. Dengan demikian manusia dapat mencapai derajat yang paling tinggi menurut pandangan Allah yaitu taqwa.
Sumber:
www.persis.or.id