KETENTUAN SHAUM RAMADLANAllah ‘azza wa jalla menetapkan ketentuan shiyam Ramadlan kepada lima golongan;
1. Setiap mu’min yang sehat, mampu melaksanakannya, dan hadir di tempat tinggalnya (tidak sedang safar) baginya wajib shaum. Meninggalkannya walaupun sehari adalah dosa besar dan tidak dapat diganti walaupun melakukan shiyam seumur hidup.
2. Bagi yang sakit diizinkan ifthar, setelah sembuh ia wajib untuk mengqadlanya di luar Ramadlan.
3. Bagi musafir diizinkan untuk ifthar, setelah kembali dan berada di tempat tinggalnya, ia harus mengqadla shaum yang ditinggalkannya pada bulan yang lain. Firman Allah:
فمن كان منكم مريضا او على سفر فعدة من اسام اخر
“Siapa yang sakit diantaramu, atau dalam keadaan safar, kemudian berbuka, maka hitunglah harinya, dan shaumlah pada hari-hari lain selain Ramadlan …”.
Sakit apa dan safar bagaimana yang membolehkan ifthar? Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat;
a. Setiap sakit dan setiap safar yang diharuskan padanya qashar shalat, boleh ifthar. Melihat keumuman lafazh, karena disana tidak dicantumkan syarat sakit dan safar.
b. Sakit yang mengakibatkan penyakitnya bertambah parah bila melaksanakan shaum. Selain itu tidak dibenarkan ifthar, malahan ada beberapa macam penyakit yang dapat disembuhkan dengan melaksanakan shaum. Dan safar yang dibolehkan ifthar ialah yang melelahkan sehingga memerlukan makan dan minum.
c. Hukum ifthar bagi yang sakit dan musafir itu tergantung alasannya. Bagi orang yang sakit dan harus minum obat pada waktu siang hari, baginya ifthar itu suatu keharusan, demikian juga orang yang safar, bila ia tidak kuat meneruskan perjalanan karena lapar dan dahaga, maka lebih baik ifthar atau mungkin ifthar itu menjadi wajib. Sebab setiap orang wajib mempertahankan hidup, haram hukumnya berbuat sesuatu yang menyebabkan ia madlarat atau mati.
Imam Malik, imam Abu Hanafi, dan imam as-Syafi’I berpendapat bahwa shaum itu lebih utama bagi yang kuat dan tidak memadlaratkan. Sedangkan imam Ahmad dan imam al-Auza’iy menyatakan bahwa berbuka atau ifthar itu lebih utama, karena melaksanakan rukhsokh dari Allah.
Karena itu kita dapat mengukur kemampuan diri, masih kuatkah melaksanakan shaum tanpa madlarat? Kapan harus ifthar? Sebab pada ayat selanjutnya Allah berfirman:
يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan Allah tidak menghendaki kesusahan”.
Selama sakit dan safar itu tidak payah dan tidak menimbulkan kesusahan, maka tidak boleh ia ifthar. Para sahabat pernah melakukan safar bersama Rasulullah Saw pada bulan Ramadlan. Diantara mereka ada yang shaum ada yang ifthar, satu sama lain tidak saling menyalahkan dan tidak saling merendahkan. Imam Ahmad dan imam Muslim meriwayatkan dari Abi Said, “kami melakukan perjalanan menuju Makkah pada bulan Ramadlan, kami semua shaum. Kemudian singgah disuatu tempat untuk istirahat, sabda Rasulullah Saw, ‘sesungguhnya kamu lebih dekat kepada musuhmu, maka ifthar itu lebih baik bagimu’. Shaum saat itu menjadi rukhsokh (keringanan), sebab itu diantara kami ada yang shaum ada yang ifthar. Kemudian kami meneruskan perjalanan, lalu singgah lagi. Beliau bersabda, ‘besok pagi kalian menghadapi musuh, maka ifthar lebih kuat bagimu’. Kami semua ifthar, saat ifthar merupakan keharusan”.
Aisyah meriwayatkan bahwa Hamzah al-Aslamiy bertanya kepada Rasulullah saw, “apakah aku harus shaum saat bersafar?” Aisyah menerangkan, ia adalah orang yang sering melakukan shaum. Jawab Rasulullah saw, “terserah kamu, mau shaum atau tidak!” pada riwayat imam Muslim beliau menjawab, ‘ifthar adalah rukhsokh dari Allah, siapa yang mau mengambilnya, itu baik. Siapa yang mau shaum maka tidak berdosa”.
4. Bagi yang muthiq diizinkan untuk ifthar dan menggantinya dengan fidyah. Firman Allah:
وعلى الذين يطيقونه فدية طعام مسكين
“Dan bagi orang-orang yang mampu melakukan shaum tetapi payah, mereka wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin …”
Yuthiyquwnahu artinya orang-orang yang mampu melakukan sesuatu tetapi dibarengi dengan payah dan kelelahan yang sangat. Selanjutnya disebut muthiq.
Fidyah artinya tebusan dengan membayarkan harta atau yang lainnya karena tidak melakukan kewajiban, atau kurang sempurna. Fidyah shaum adalah memberi makanan kepada seorang miskin seukuran yang biasa dimakan oleh orang yang wajib mengeluarkannya.
Imam Musthafa al-Maraghiy menafsirkan: “mereka adalah orang tua renta yang lemah, orang yang mempunyai penyakit kronis yang tidak ada harapan sembuh, para pekerja yang ditakdirkan Allah mengandalkan tenaga secara terus menerus dan tidak punya pilihan lain, seperti pekerja yang mencari batu bara, penambangan logam dan minyak bumi. Para narapidana yang dihukum dengan bekerja keras, orang yang hamil dan menyusui yang menurut pemeriksaan bahwa mereka dianjurkan berbuka karena dikhawatirkan akan mengganggu keselamatan bayinya. Setiap kali mereka meninggalkan shaum, mereka wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan kepada seorang miskin dengan makanan yang biasa mereka berikan kepada keluarganya. Tetapi bila lebih dari ketentuan, maka hal itu akan lebih baik selama tidak berlebihan dan tidak menimbulkan kemadlaratan. Firman Allah:
فمن تطوع خيرا فهو خيرله
“Maka siapa yang menambah kebaikan, maka kebaikan itu lebih baik baginya …”.
Dalil ini berlaku untuk semua ibadah maliyah (dengan harta) seperti zakat, infaq, dan shadaqah, tetapi tidak berlaku untuk ibadah badaniyah seperti menambah rakaat dan shalat dan ifthar shaum melebihi waktu maghrib padahal ia mempunyai makanan dan kesempatan untuk berbuka. Bentuk tathawwu’ disini maksudnya, memberi makan lebih dari seorang miskin setiap hari ia berbuka, atau mengistimewakan makanan yang diberikan. Demikian juga dalam mengeluarkan zakat dan infaq. Misalnya Zakatul Fitri seseorang melebihi dari kewajiban satu sha’ makanan. Ayat ini pun memberi isyarat bahwa bershadaqah di bulan Ramadlan pahalanya akan berlipat ganda, terutama memberi kepada orang-orang yang shaumnya baik. Sebab ia akan mendapat pahala sama dengan orang yang diberinya.
Orang-orang yang sakit, para musafir, dan orang-orang yang muthiq jika mampu melakukan shaum, maka shaum itu lebih baik bagi kamu, sebab shaum mempunyai pengaruh positif terhadap seluruh aspek kehidupan manusia. Shaum dapat melatih jiwa, kedisiplinan waktu, sabar, rasa malu, menahan amarah, berhemat, meningkatkan kualitas ibadah, dan muraqabah, yaitu merasakan diperhatikan oleh Allah, yag semua itu akan melahirkan ketaqwaan, firman Allah:
وان تصوموا خيرلكم ان كنتم تعلمون
“Shaum kamu itu lebih baik buatmu, jika kamu mengetahui”.
5. Bagi perempuan yang haidl haram baginya shaum, ia wajib mengqadlanya di luar ramadlan saat ia memenuhi syarat untuk melaksanakannya. Sabda rasulullah Saw saat menegur:
اليس اذا حاضت لم تصل ولم تصم
“Bukanlah perempuan itu apabila haidl tidak wajib shalat dan tidak wajib shaum?” (HR. al-Bukhariy)
Sahabat Mu’adzah berkata:
سالت عائشة رضي الله عنها فقلت: ما بال الحائض تقضى الصوم ولا تقضي الصلاة؟ قالت: كان يصيبنا ذالك مع رسول الله صلعم فنؤمر بقضاء الصوم ولا نؤمر بقضاء الصلاة
“Aku bertanya kepada Aisyah r.a. “apa sebabnya yang haidl itu mengqadla shaum tapi tidak mengqadla shalat? Aisyah menjawab: kami pernah mengalami hal itu ketika beserta Rasulullah saw, maka kami diperintah supaya mengqadla shaum dan tidak diperintah untuk mengqadla shalat”. (HR. jama’ah)
Sumber:
www.persis.or.id