Oleh sebagian kalangan, Persatuan Islam (Persis) dipersepsi sebagai organisasi yang tidak kenal kompromi dalam menerapkan hukum Islam. Deskripsi lain juga mencerminkan sikap yang tidak kenal kompromi dalam kegiatan dakwah Persis: "..dengan tujuan utama dan pertama ingin mengembalikan umat Islam kepada Alquran dan Sunnah."
Dengan kata lain, seperti dikutip dari buku Tokoh dan Pemimpin Agama: Biografi Sosial-Intelektual, para mubaligh Persis berusaha mengikis bid'ah, khurafat, takhayul, dan syirik yang telah menjamur di tengah masyarakat.
Namun, Ustadz Endang Abdurrahman, yang pernah memimpin organisasi ini, punya sifat serta karakter yang berlawanan dengan citra Persis di mata orang luar. Ia juga dikenal sebagai pribadi yang halus dan fasih tutur katanya, tenang, jernih pikirannya, dan luas pandangannya.
Ia berasal dari keluarga sederhana. Tokoh ulama ini terlahir di kampung Pesarean, desa Bojong Herang, Cianjur, tanggal 12 Juni 1912. Ayahnya, Ghazali, bekerja sebagai penjahit pakaian, dan sang ibu, Hafsah, adalah perajin batik.
Kedua orangtuanya adalah penganut Islam yang taat. Abdurrahman kecil mendapat pengajaran agama langsung dari orang tuanya. Berkat ketelatenan keduanya, terutama sang ibu, maka di usia 7 tahun, ia sudah khatam (tamat membaca) Alquran.
Sesuai tradisi masyarakat saat itu, oleh orangtuanya Abdurrahman dimasukkan ke Madrasah Al-'Ianah, Cianjur. Di sinilah, ia mendapatkan beragam pengajaran, termasuk bahasa Arab yang lantas menjadi salah satu keahliannya.
Tujuh tahun lamanya ia mengenyam pendidikan di madrasah itu dan lulus dengan nilai memuaskan. Beberapa tahun kemudian, Abdurrahman diminta untuk menjadi staf pengajar di madrasah yang sama. Selain itu, ia juga memberikan pelajaran di Majelis Pendidikan Diniyah Islam (MPDI) yang menyelenggarakan kegiatan pendidikan bagi anak di pagi hari dan orang dewasa di malam hari.
Kegiatan mengajar di MPDI membawanya mengenal Ustadz A Hasan, guru utama Persis yang menyelenggarakan pengajian di daerah Pangeran Sumedang Weg, Bandung. Lazimnya pengajian kaum reformis puritan, maka ceramah A Hasan banyak mengangkat tema menyangkut haramnya tahlilan, talqin, marhaban, dan penggunaan kata ushali dalam shalat.
Mereka kerap mengadakan diskusi tentang banyak masalah. Diskusi tak jarang diwarnai perdebatan seru, terutama mengenai hal-hal yang biasa dikritik kaum reformis. Ketika pada akhirnya Abdurrahman sanggup menerima argumen dari A Hasan, maka ia pun bersedia aktif mengikuti pengajian itu, bahkan menjadi murid dan asistennya yang terdekat.
Akan tetapi, pandangan dan aktivitasnya itu tidak disenangi oleh kalangan MPDI. Hingga kemudian ia dikeluarkan dari madrasah. Meski sedikit kecewa, namun hal tersebut justru menjadikannya semakin dapat mencurahkan perhatiannya di Persis. Iapun masuk ke Pendidikan Islam (Pendis) yang merupakan bagian pendidikan Persis yang dipimpin M Natsir.
Baru pada tahun 1934, Abdurrahman menjadi anggota Persis. Kemampuan dalam hal mengelola lembaga pendidikan agama, membuatnya dipercaya memimpin pesantren kecil yang buka di pagi hari. Tahun 1940 pesantren kecil ini menjelma menjadi pesantren Persatuan Islam Bandung yang merupakan model bagi pesantren Persis di daerah-daerah.
Karirnya di organisasi Persis dimulai kala menjabat sebagai ketua bagian tabligh dan pendidikan, tahun 1952. Setahun kemudian dalam Muktamar V Persis di Bandung, ia terpilih menjadi Sekretaris Umum Persis dengan KH Isa Anshari sebagai ketua umum.
Pada saat itu, ia lebih banyak memberikan perhatian ke dalam masalah internal organisasi dan yang berkaitan dengan problem sosial dan hukum-keagamaan. Seperti misalnya arahan agar Persis bersikap tegas serta melakukan aksi protes damai terhadap aktivitas berbau maksiat di Bandung. Ia juga giat merumuskan argumen-argumen guna menghadapi aliran yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam. Dan tahun 1956, untuk pertama kalinya, ia menunaikan ibadah haji.
Tahun 1962 adalah tahun penting bagi KH Endang Abdurrahman: ia dipercaya memimpin Persis. Di bawah kepemimpinannya, Persis secara konsisten diarahkan agar menjadi organisasi pendidikan dan dakwah dan memiliki pandangan jauh ke depan.
Ia pun berkomitmen menjaga kemurnian "ideologi reformasi" Persis. Dengan tidak bosan-bosannya, dalam tiap kesempatan, Abdurrahman menjelaskan masalah-masalah dasar organisasi seperti makna yang terkandung pada nama Persatuan Islam sebagaimana tercantum dalam Qanun Asasi 1984.
Intinya, pemikirannya mencerminkan keyakinan seluruh kaum reformis bahwa problem yang dihadapi kaum Muslim diakibatkan oleh kekeliruan dalam memahami ajaran Islam dan penyimpangan dari prinsip Alquran dan sunnah. Abdurrahman yakin, yang harus dilakukan dalam memecahkan problem tersebut adalah menafsirkan Alquran serta Sunnah sebagaimana dilakukan Rasulullah SAW dan para sahabat, bukan mengikuti begitu saja pendapat-pendapat para ulama mazhab.
Seperti tercermin dari tulisan-tulisan dan karya, ia memandang periode Nabi sebagai masa kejayaan yang berfungsi sebagai pola ideal yang harus dicontoh. Oleh karenanya, tema-tema kesukaan ulama ini adalah berkaitan dengan peran Alquran dan Sunnah, ijtihad, ittiba, dan taqlid.
Di samping memang penceramah, Abdurrahman pun seorang penulis yang produktif. Sebagian besar tulisannya merupakan karangan lepas dan banyak dimuat di berbagai majalah. Beberapa di antara karyanya adalah buku Risalah Wanita (kumpulan tulisan), Renungan Tarikh (kumpulan tulisan), Jihad dan Qital, Darul Islam, dan Dirayah Ilmu Hadist.
Usai melaksanakan ibadah haji keduanya tahun 1981, berangsur-angsur kondisi kesehatan Abdurrahman menurun. Kala itu usianya sudah mencapai 70 tahun. Setelah sempat dirawat dua kali di RS Hasan Sadikin Bandung, tanggal 21 April 1983, KH Abdurrahman meninggal dunia.