IAPPI Community On The Net
Ahlan wasahlan di forum IAPPI,
Anda belum masuk silakan login atau register.
Agar Anda bisa berpartisifasi dalam forum IAPPI ini.
IAPPI Community On The Net
Ahlan wasahlan di forum IAPPI,
Anda belum masuk silakan login atau register.
Agar Anda bisa berpartisifasi dalam forum IAPPI ini.
IAPPI Community On The Net
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.


Forum Komunikasi IAPPI Pesantren Persatuan Islam
 
IndeksGalleryLatest imagesPencarianPendaftaranLogin

 

 Syukur Ni'mat Dalam Tinjauan Bahasa

Go down 
PengirimMessage
H-Qm
Admin
Admin
H-Qm


Male Jumlah posting : 116
Localisation : Pajagalan 14-16
Registration date : 13.10.06

Syukur Ni'mat Dalam Tinjauan Bahasa Empty
PostSubyek: Syukur Ni'mat Dalam Tinjauan Bahasa   Syukur Ni'mat Dalam Tinjauan Bahasa EmptyThu 31 Jan - 23:08:38

Kata syukur telah berasimilasi dengan bahasa Indonesia, sehingga jika mendengar kata syukuran, orang lupa terhadap bahasa aslinya. Para ahli banyak yang mendefinisikan kata syukur dari bahasa aslinya, antara lain, Al-Jurjani (1992:167) menyebutkan, “Syukur itu suatu ungkapan pernyataan menerima ni’mat, baik dengan lisan, badan atau dengan hati.” Dan dalam pada definisi lain; “Syukur adalah pujian kepada yang memberi kebaikan dengan menyebut kebaikannya.”

Seorang hamba bersyukur kepada Allâh, artinya hamba itu memuji Allâh dengan menyebut kebaikannya, yaitu ni’mat. Sedangkan Allâh bersyukur kepada hamba, berarti Allâh memuji hamba dengan menerima kebaikan hambanya, yaitu karena ketaatannya. Al-Raghib (tt, 265) menjelaskan, Syukur ni’mat, yaitu senantiasa mengingat ni’mat dan mengungkapkannya, yaitu mengaplikasikan dengan bentuk yang diridhai Allâh. Sebaliknya kufur ni’mat, yaitu melupakan ni’mat dan menutupinya. “Syukur ni’mat adalah mengingat-ingat dan menampakkannya sedangkan kufur ni’mat adalah melupakan dan menutupinya.”

Dalam al-Qurân kita jumpai kata al-Ni’mat, seperti pada surat Al-Baqarah, “Dan ingatlah ni’mat Allâh kepadamu” (QS. Al-Baqarah [2]:231) Dan kata Na’mâ` dalam surat Hűd, “Dan jika Kami rasakan kepadanya kebahagiaan sesudah bencana yang menimpanya” (QS. Hűd [11]:10) Dan juga kita jumpai kata al-Na’îm seperti pada surat al-Takatsur, “Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang keni’matan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu)” (QS. Al-Takatsur [102]:8)

Al-Raghib (tt, 499) menjelaskan, al-Ni’mat itu adalah suatu hal yang bagus (baik), al-Ni’mat al-Hâlat al-Hasanat dari kata al-Na’mâ`a adalah kebahagiaan, keni’matan setelah hilangnya bencana al-Na’mâ`u (al-Ni’mat) bi-izâ`i ad-Dharâ`i, sementara al-Naîm ialah ni’mat yang banyak al-Naîm al-Ni’mat al-Katsîrat. Kata al-An’âm bentuk jama dari kata al-Na’amu yang pada mulanya khusus untuk arti unta. Disebut demikian karena unta pada orang Arab merupakan ni’mat yang paling besar. Selanjutnya kata itu berarti unta, sapi dan kambing. Al-Jurjani (1992:311) menyebutkan, “Ni’mat itu adalah sesuatu yang dimaksudkan dengannya kebaikan dan manfaat tidak karena adanya sesuatu tujuan dan tidak karena mengharapkan pengganti.”

Dalam al-Qur`ân disebutkan macam-macam ni’mat, ada dua: 1. Ni’mat Bâthinat. 2. Ni’mat Dzhâhirat. “Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allâh telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu ni’mat-Nya lahir dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allâh tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan.” (QS. Luqman [31]:20)

Ibnu al-Jauzi (VI:324) mengutip pertanyaan Ibnu Abbas kepada Nabi, tentang ni’mat dhahir dan ni’mat bathin. Sabda Nabi, Ni’mat dhahir adalah Islam, wujud yang bagus sempurna dari Allâh dan rizki yang diberikan Allâh. Dan ni’mat bathin adalah Allâh menutupi keaiban amal dan tidak membukakannya. Sementara al-Dhahak, menyebutkan al-Bâthinat ialah al-Ma’rifat dan al-Dzhâhirat adalah Husnu al-Shűrat (wujud yang bagus), Imtidâd al-Qâmat (lurus perawakan) dan Taswiyat al-A’dhâ’u (keseimbangan anggota badan). Al-Maraghi (VII:88) menyebutkan, nimat itu Ni’mat mahsűsat dan Ghair mahsűsat. Nimat mahsus atau dhahir, apa yang dapat dilihat oleh mata seperti harta dan kecantikan. Dan ni’mat ghair mahsus atau bathin, apa yang terdapat dalam jiwanya seperti mengenal Allâh dan baiknya keyakinan.

Imam al-Jurjani (1992:168), membagi syukur pada, as-Syukr al-‘Urf (kebiasaan) dan as-Syukr al-Lughawiy (syukur bahasa). “Syukur Uruf, yaitu Hamba menggunakan semua apa yang Allâh berikan kepadanya baik berupa pendengaran, penglihatan dan lainnya, sesuai dengan yang semestinya. Syukur Lughawi, yaitu ungkapan/bentuk kebaikan terhadap keagungan dan kemuliaan (pemberi ni’mat) atas ni’mat (yang diberikan) baik dengan lisan, hati dan dengan anggota badan.”

Al-Raghib (tt, 265), membagi syukur kepada tiga macam; 1. Syukr al-Qalb (Syukur hati) 2. Syukr al-Lisân (Syukur lidah) 3. Syukr sâiri al-Jawârih (Syukur semua anggota badan). Syukur hati, yaitu syukur dengan cara mengingat-ingat ni’mat. Syukur Lidah, yaitu memuji kepada yang memberi ni’mat. Syukur anggota badan, yaitu membalas ni’mat sesuai dengan kepatutan (kepantasannya).

Bersyukur kepada pemberi ni’mat dan pemberi kebaikan hendaknya dilahirkan dalam bentuk perbuatan, baik perbuatan hati, lisan juga anggota badan. Hal ini diisyaratkan oleh firman Allâh, “Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari gedung-gedung yang tinggi dan patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada diatas tungku). Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allâh). Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih.” (QS. Saba [34]:13)

Al-Raghib (tt, 265) menjelaskan, disebut dengan kata I’malű bukan dengan Usykurű memberi arti, bersyukur itu hendaknya dilahirkan berupa pekerjaan, yang meliputi al-Qalb (hati), al-Lisân (ucapan) dan al-Jawârih (Anggota badan -perbuatan-).

1. Syukur qalbi. Dilakukan dengan mengingat-ingat ni’mat atau meng-gambarkan ni’mat yang telah diberikan Allâh dengan perasaan hati. Misalnya dulu tidak punya apa-apa sekarang punya kekayaan, dulu tidak bekerja sekarang dapat pekerjaan, dulu sakit-sakitan sekarang ada dalam kesehatan, kita cukup sandang dan pangan sementara orang lain hidup dalam kesulitan. Dengan demikian akan muncul perasaan hati untuk lebih bersyukur kepada pemberi ni’mat. Al-Maraghi (I:29) menyebutkan, syukur dengan hati itu dengan melahirkan ketulusan, kemurnian hati dan rasa cinta kita pada Allâh (al-Nashu wa al-Mahabbah).

2. Syukur Lidah. Yaitu bentuk syukur yang diucapkan dengan lisan, baik kepada Allâh, juga kepada sesama manusia. Syukur lisan kepada Allâh antara lain kita mengucapkan kalimat al-Hamdulillah. Ibnu Abbas menyebutkan al-Hamdulillah adalah kalimat syukur, jika hamba menyebut al-Hamdulillah, Allâh Swt berfirman, Syakaranî ‘Abdî. Pada kesempatan lain Ia mengatakan al-Hamdu adalah al-Syukru dan al-Iqrâru bini’amihi wa hidâyatihi. Dan Jalaludin al-Suyuthi (I:30) mengutif riwayat Ibnu Jarir dan al-Hâkim, menyebutkan hadits Nabi Saw, “Rasulullah Saw bersabda, apabila kalian mengucapkan “al-Hamdulillahi Rabbil ‘Alamin” dengan demikian engkau telah bersyukur kepada Allâh dan Dia akan menambah ni’mat-Nya” Dan syukur lisan kepada sesama manusia dilakukan dengan mengucapkan kata-kata pujian, kata yang baik (al-Madhu-Al-Tsana`u) terhadap orang yang berbuat ihsan (baik), sebagai ungkapan rasa syukur (Al-Maraghi, I:29)

3. Syukur anggota badan. Dilakukan dengan membalas ni’mat atau kebaikan dengan kepatutan atau kepantasan yang layak. Syukur Jawarih kepada Allâh, dilakukan dengan membalas ni’mat Allâh dengan ibadah kepada Allâh. Untuk itu Ibnu al-Mundzir dalam al-Suyuthi (I:31) menyebutkan, “Shalat itu adalah syukur, shaum juga syukur, seluruh kebaikan yang dilakukan atas dasar karena Allâh itu adalah syukur.”

Termasuk bentuk syukur terhadap Allâh Swt, melakukan Sujud syukur karena Nabi bila mendapatkan sesuatu yang menggembirakan, ia melakukan sujud. “Sesungguhnya Nabi Saw, adalah beliau apabila datang kepadanya suatu urusan yang memudahkannya beliau tersungkur bersujud syukur kepada Allâh yang maha tinggi.” (Riwayat Imam Ahmad)

Dan ketika Ali ra menulis surat pada Nabi Saw memberitahukan Islamnya pembesar Yaman bernama Hamdân beliau bersujud. “Beliau tersungkur bersujud lalu mengangkat kepalanya dan bersabda, Keselamatan atas Hamdân, keselamatan atas Hamdân.” Dalam riwayat Abu Daud dari Saad bin Abi Waqash, dijelaskan ketika Nabi meminta Syafa’at untuk umatnya kepada Allâh Swt, Ketika Ka’ab bin Malik mendapat berita gembira, tentang taubatnya diterima, Ia sujud syukur. Dan Abu Bakar al-Siddiq bersujud ketika terbunuhnya Musailamah. (Ibnu Qayyim al-Jauziyah, 1995, I:361:362)

Dan syukur al-jawarih pada manusia dapat dilakukan antara lain dengan cara Mukâfa`at yaitu membalas kebaikan orang lain dengan pekerjaan yang baik pula dan dengan Khidmat, yaitu mengabdi dan memberikan bantuan (Al-Maraghi, I:29) Di dalam melahirkan syukur tersebut, tampaknya perlu juga diperhatikan kepada siapa lebih awal hendaknya bersyukur? Untuk itu al-Qur`ân telah menunjukkan, pertama, bersyukur itu kepada Allâh Swt, karena Allâhlah sebagai pencipta, pemberi kehidupan dan kepada-Nya pula kita akan kembali. Kedua bersyukur kepada orangtua, karena keduanya tangan kedua setelah Allâh, yang menjaga, mengasuh, mendidik, membesarkan dan menikahkan. Dan selanjutnya Ketiga kepada orang lain, kerabat dekat, kerabat jauh, tetangga dll.

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibubapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS. Luqman [31]:14)

“Maka dia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdo'a: Ya Rabbku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri ni’mat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh.” (QS. Al-Naml [27]:19)

Al-Maraghi (I:30) dan Al-Suyuthi (I:30) menjelaskan, dari ketiga syukur tersebut di atas, syukur qalbi, syukur lisan dan syukur jawarih maka yang menjadi pangkal syukur adalah syukur lisan, yaitu mengucapkan al-Hamdu, sebagaimana dijelaskan Sabda Nabi Saw, Al-hamdu sebagai pangkal syukur itu karena diucapkan, terdengar sehingga dapat ditiru yang lain, mengandung nilai da’wah di dalamnya, secara tidak langsung mengajak yang lain untuk sama melakukannya. Sementara syukur qalbi, karena tersembunyi dalam hati, tidak diketahui yang lain, maka sulit ditiru. Sedangkan syukur jawarih, syukur yang dilahirkan dengan semua anggota badan, tidak banyak yang dapat melakukannya, ini termasuk pada sesuatu yang tidak mudah. Al-Suyuthi (I:31) mengutip riwayat Ibnu Mandzur dan Ibnu Abi Hatim yang menyebutkan “Afdhalu al-Syukr; al-Hamdu” Dan juga al-Tirmidzi menye-butkan Sabda Nabi Saw, “Afdhalu al-Du’â; al-Hamdu” Namun demikian, sekalipun kalimat al-Hamdu itu mudah untuk diucapkan, murah dilakukan, tapi tidak banyak pula yang biasa melakukannya. Untuk itu al-Baihaqi menyebutkan, “al-Hamdulillah aktsaru al-Kalâm tadh’îfân.” Padahal Banyak manfaat yang diperoleh dari padanya, antara lain yang dikutif Al-Suyuthi (I:32), telah bersabda Rasulullah Saw, “Tauhid itu harganya surga sedangkan al-Hamdulillah itu harga setiap keni’matan.” (al-Dailamiy)


Telah bersabda Rasulullah Saw: “Apabila salah seorang diantara kalian bersin lalu ia mengucapkan ‘al-Hamdulillah’ berkata Imam Malik: (disambung dengan Rabbil ‘Alamîn) apabila ia mengucapkan Rabbil ‘Alamîn, berkata Imam Malik ‘Yarhamukallâh’ (Semoga Allâh merahmatimu).” (al-Tirmidzi)

Dalam surat Saba 13 terdapat firman Allâh yang menyebutkan sedikit sekali hamba yang bersyukur, “Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari gedung-gedung yang tinggi dan patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada diatas tungku). Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allâh). Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang bersyukur.” (QS. Saba [34]:13)

Ini menunjukkan bahwa bersyukur itu tidak mudah. Dalam Al-Qur`ân kata Syâkirân hanya disebutkan sebanyak dua kali oleh Allâh untuk hambanya, pertama Ibrâhîm dan kedua bagi Nűh As dengan firmannya, Syâkirân lian’umihi dan Innahu kâna ‘abdân syakűrân dalam al-Nahal 121 dan al-Isra 3, “(lagi) yang mensyukuri ni’mat-ni’mat Allâh, Allâh telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus.” (QS. Al-Nahl [16]:121). “(yaitu) anak cucu dari orang-orang yang Kami bawa bersama-sama Nűh. Sesungguhnya dia adalah hamba (Allâh) yang banyak bersyukur”. (QS. Al-Isra` [17]:3)

Disebutnya dalam al-Qur`ân dua kali bagi hamba bersyukur, ini bukan berarti Nabi-Nabi yang lain tidak suka bersyukur, tapi hal ini menunjukkan bahwa tidak banyak hamba yang pandai bersyukur ni’mat (Al-Raghib, tt, 125)

Nabi Sulaiman As seorang manusia yang kaya ilmu, kaya harta, tinggi kekuasaan, tapi tidak melupakan bersyukur, malah khawatir menjadi orang yang tidak mampu mensyukuri ni’mat dari yang memberi ni’mat Allâh Swt. Ini dijelaskan Allâh QS. Al-Naml [27]: 15-19.

Ini suatu pelajaran berharga bagi para ilmuwan (ulama) agar bersyukur pada yang memberinya ilmu. [Assaha]

Penulis: Drs. Dedeng Rosyidin, M.Ag
(Praktisi Pendidikan)

Sumber Buletin Jum'at Pajagalan Online
Kembali Ke Atas Go down
http://www.hakimtea.com
 
Syukur Ni'mat Dalam Tinjauan Bahasa
Kembali Ke Atas 
Halaman 1 dari 1
 Similar topics
-
» Kumpulan Cerpen Bahasa Arab
» [Untuk RG-UG] Ada kendala dalam penyusunan Karya Tulis...?
» [Tips] Menu plug in Al-Quran dan Terjemah dalam Ms Word

Permissions in this forum:Anda tidak dapat menjawab topik
IAPPI Community On The Net :: Pesantren Virtual :: Artikel-
Navigasi: